• slide 1

    Dedi Padiku 1

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 2

    Dedi Padiku 2

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 3

    Dedi Padiku 3

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 4

    Dedi Padiku 4

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 5

    Dedi Padiku 5

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 6

    Dedi Padiku 6

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide nav 1

    Dedi Padiku 1

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 2

    Dedi Padiku 2

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 3

    Dedi Padiku 3

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 4

    Dedi Padiku 4

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 5

    Dedi Padiku 5

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 6

    Dedi Padiku 6

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...

Bab 10: rencana sinting

Diposting oleh Dedi Padiku
naskah mengejar mimpi bab: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Kami makan dirumah makan disekitar terminal. Aku memperkenalkan suanda dan iwan. Iyen juga memperkenalkan kedua temannya yang tenyata masih satu sekolah denganku yang sejurusan dengan iyen. Suanda sangat marah denganku. Karena jika berkenalan dengan wanita ia tak ingin aku memanggilnya dengan sebutan suanda. Suanda sangat menyukai namanya disingkat ”anda” saja, katanya biar lebih kren. Tapi belum sempat ia memperkenalkan nama yang dianggapnya kren itu, aku langsung memperkenalkan namanya ”suanda”. Mendengar itu suanda langsung menginjak kakiku dibawah meja makan. Wajahnya sangat tak enak dipandang seakan jika tak ada siapa-siapa disitu, ia pasti telah memukul kepalaku dengan sendok nasi.
Iwan yang memang mengetahui tabiat suanda, tersenyum-senyum sendiri. Suanda semakin jengkel melihat iwan, serta merta menarik jempol tangan iwan-yang di sembunyikan iwan dari tadi-karena malu jika iyen mengetahui ibu jarinya terpotong. Karena ibu jarinya yang terpotong itu kami menjuluki iwan dengan sebutan si pongkol. Iwan yang tak menyadari maksud suanda terbelalak kaget ketika jempolnya dipegang suanda. Mereka saling tarik menarik, Iwan tetap berusaha menyembunyikan ibu jarinya dibalik meja makan.


Iyen dan kedua temannya heran melihat mereka berdua. Aku semakin tak bisa menahan tawa. Aku tahu iwan pasti sangat malu jika jempolnya itu ketahuan, makanya ia berusaha mati-matian meskipun suanda memaksa. Tapi jika melihat jempolnya siapapun akan tertawa sebab bentuknya lucu, ibu jarinya yang terpotong itu jika diperhatikan seperti kepala orang yang memakai cadar hingga mata yang kelihatan, sisa kukunya yang terpotong itu seperti mata yang sedang mengintip dari balik cadar.
Perutku semakin kaku karena menahan tawa. Iyen berusaha bertanya kepadaku.
”dedi kenapa, ada apa dengan temanmu”. Tanya iyen yang ingin tertawa melihat aku cekikan menahan tawa. Suanda terhenti membuka jempol iwan yang disembunyikannya dalam genggaman jarinya yang lain.
”tanya saja langsung kepada mereka berdua”. Saranku kepada iyen. Kulihat iwan memerah mukanya ketakutan jangan-jangan suanda akan membuka rahasia jempolnya yang terpotong itu. Dan memang karena suanda orangnya tukang jahil maka ia mulai bercerita dengan sangat dramatis.
”iyen kalian tahu kan konon sejarah ditimur tengah dulu jika ada orang yang mencuri jarinya dipotong”. Suanda menjelaskan tanpa perduli dengan iwan yang memandangnya dengan jengkel. Suanda bersemangat sekali menceritakan itu. Iwan seperti ingin sekali membenamkan kepala suanda kedalam mangkok kuah yang masih panas. Aku khawatir jangan-jangan iwan akan melakukan hal itu. Maka aku cepet-cepat mengantisipasi hal ini.
”oh ya iyen kau memesan apa?”. tanyaku mengalihkan pembicaraan. Iyen nampaknya membaca pikiranku, ia tahu kalau aku berusaha agar tidak menyinggung perasaan iwan. Maka ia juga berpura-pura bertanya kepada kedua temannya. Tapi aku tahu kalau ia telah mengerti maksud suanda dengan cerita timur tengah itu. Sebab kulihat wajahnya memerah akibat menahan tawa. Suanda memperhatikan wajahku. Ia mengerti dengan isyarat yang aku layangkan. Maka cerita timur tengah tak ia lanjutkan.
Suanda dan iwan mengikuti menu makanan yang aku pesan. Seperti pengunjung yang lainnya, suanda dan iwan mencuri-curi pandang melihat iyen, iyen yang menyadari hal itu menatapku seolah mengatakan kalau tempat ini kurang nyaman untuknya. Pria-pria yang ada ditempat itu tetap sekali-kali melirik kearah iyen meskipun bersama pacar mereka masing-masing.
Setelah membayar semuanya iyen cepat-cepat menyeretku keluar. Kami kembali naik kelantai dua. Siswa siswi semakin banyak, pertanda sudah jam pulang sekolah. Dan itu berarti waktuku tak lama lagi. sebab akan mengganti pamanku lagi menarik angkot. Iyen menggandeng tanganku membuat aku kikuk berjalan. Sedangkan suanda dan iwan sontak tebelalak matanya, tapi kedua teman iyen alun dan dian nampak biasa saja, mereka bersikap seolah aku dan iyen telah lama mempunyai hubungan khusus.
Aku menduga mungkin iyen sering bercerita tentang aku didepan mereka. Dan semoga saja dugaanku itu benar. Sebab yang sering aku dengar dari orang-orang katanya jika wanita mencintai seseorang, pasti ia akan lebih suka menceritakan pria yang di cintainya itu didepan teman-temannya. Jadi seandainya rumus itu benar, tak salah lagi ada sedikit harapan. Ya hanya sedikit saja. Aku tak berani berharap atau lebih tepatnya bermimpi pun tak pantas.
Dari lantai dua soping aku melihat perlahan-lahan mobil pamanku memasuki jalur jurusan suwawa. Jujur saja sebenarnya aku masih ingin merasakan lebih lama berada disamping iyen. Tapi aku tak mungkin meninggalkan pekerjaanku ini. Karena hanya inilah yang membuat aku masih tetap bisa melanjutkan sekolah sampai sekarang. Iyen masih tetap menatapku saat aku turun keterminal. Mungkin ia sedih melihat nasibku. Sedangkan suanda dan iwan masih terus menyerangku dengan berbagai pertanyaan mengapa sampai begitu dekat dengan iyen dan kenapa tak pernah cerita kepada mereka.
Tapi entah mengapa suanda terdiam bertanya seolah sedang memikirkan sesuatu. Dan seperti biasa aku menangkap lagi sesuatu yang sedang ia rencanakan. Tiba-tiba ia memukul kepalanya sendiri.
”aduh....kenapa tak terpikirkan dari tadi”. pekik suanda seperti menyadari kesalahannya dan langsung berlari kembali kelantai dua. Ia buru-buru meninggalkan aku dan iwan.
”tunggu sebentar aku mau menemui iyen”. Teriaknya saat menaiki tangga.
Dari terminal aku melihat suanda sangat serius menceritakan sesuatu kepada iyen. Sedangkan iyen yang mendengar ceritanya sekali-kali memandangku dari atas. Tak salah lagi pasti mereka bercerita tentang aku. Aku jadi takut jangan-jangan suanda jadi sinting dan mengatakan kalau aku mencintai iyen. Aduh gawat jika itu yang ia lakukan mau tidak mau aku harus pindah kesekolah lain.
Aku semakin was-was tapi aneh kulihat iyen tertawa mengangguk-angguk seperti sedang menyetujui sesuatu. Mereka serius seperti orang yang sedang melakukan kesepakatan kontrak bisnis. Dan mereka berdua sepakat akan syarat-syarat kontrak itu. Saat akan berpisah suanda kulihat sempat mengatakan sesuatu. Kuduga ia mengingatkan iyen agar jangan meremehkan kontrak bisnis itu. Sebab kulihat iyen mengangguk terse nyum-senyum senang akan tawaran suanda. Atau ia telah tertular oleh kesentingan suan da waktu makan bersama tadi.
Sebelum pergi iyen melambaikan tangannya penuh misteri. Suanda tersenyum matanya berbinar-binar melihatku seperti orang yang baru memenangkan undian mobil.
”apa yang barusan kau ceritakan kepada iyen”. Desakku. Suanda hanya tersenyum penuh arti. Sulit kuartikan senyumnya itu.
”tidak ada yang penting aku hanya mengatakan kalau kapan-kapan kita akan bertemu lagi disini”. Ucapnya sambil lalu. Aku merasakan ada sesuatu keanehan dari caranya berbicara. Ada sesuatu yang ia sembunyikan. Aku menangkapnya dari wajahnya. Aku dan iwan bergantian memaksanya tetap saja ia mengatakan tidak ada apa-apa.

OOO

Iyen masih tak dapat dimiliki siapapun. diperebutkan ratusan pria disekolahku. Bahkan sering pria dari sekolah lain yang mempunyai kenalan disekolah kami datang demi mendapatakan cintanya. Tapi tak seorang pun dapat memilikinya. Demikian banyak hati tertambat padanya, tapi tak kunjung ia terkesan. Dan perlombaan mendapatkannya bukannya surut malah semakin menjadi-jadi.
Ranto yang termasuk tipe orang yang percayadiri. Mempunyai strategi tersendiri untuk membuat iyen terkesan. Layaknya pria dalam sinetron-sinetron. ranto sok romantis, senang memuji, dan tergila-gila dengan sikap bak pahlawan kesiangan. K etika iyen memasuki kantin sekolah, ranto serta merta bangkit melangkah anggun mengelap kursi dan mempersilahkan iyen untuk duduk dengan tatapan sendu yang berarti: akan kubelikan kapal pesiar untukmu belahan jiwaku.
Ranto tak segan-segan membual untuk membuat iyen terkesan. Ia yang hanya anak nelayan biasa, mengaku kalau sebenarnya ia adalah anak dari seorang pengusaha ratusan kapal ikan. Mempunyai usaha pengekspor ikan satu-satunya di gorontalo. Dan ikannya diekspor kenegara luar seperti: cina, tailand, filipina, dan hongkong. Ia mengatakan juga bahwa perusahaannya adalah satu-satunya perusahaan yang mengekspor ikan kejepang untuk di buat sasimi makanan has kesukaan jepang.
Ranto termasuk pria yang sangat romantis, dengan gaya sangat meyakinkan ia merayu iyen didepan seisi kantin, ia mengatakan kalau sering membayangkan pergi bersama iyen dengan kapal pribadinya menyusuri perairan laut gorontalo. Bahkan ia menawarkan iyen setelah lulus nanti akan mengajak iyen mengelola pabrik pengalengan ikan yang akan di bangunnya.
Iyen menatapnya serius penuh pertimbangan. Ranto tersenyum bangga mengira siasat busuknya berhasil. Ia menunggu jawaban manis itu keluar dari mulut iyen.
”menyentuh sekali kata-katamu sahabatku”. Ranto sumringah.
”tapi aku paling tidak suka berurusan dengan bau darah ikan”. Air muka ranto berubah.
”jadi begini saja, akan kupertimbangkan tawaranmu setelah kau membangun perusahaan di bidang lain”.ranto terdiam kehabisan kata-kata.
Sebenarnya dikantin itu aku ingin menanyakan kepada iyen tentang apa yang ia bicarakan dengan suanda waktu diterminal kemarin. Tapi karna kulihat situasi tak memungkinkan maka aku urungkan saja niatku. Lagian kulihat semakin banyak orang berdatangan melihat ranto membual.


dedi padiku | foto | video | blog mengejar mimpi | blog facebook | profil facebook | facegor.

0 komentar :

Posting Komentar

 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More
powered by Blogger Dedi Padiku