• slide 1

    Dedi Padiku 1

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 2

    Dedi Padiku 2

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 3

    Dedi Padiku 3

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 4

    Dedi Padiku 4

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 5

    Dedi Padiku 5

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 6

    Dedi Padiku 6

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide nav 1

    Dedi Padiku 1

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 2

    Dedi Padiku 2

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 3

    Dedi Padiku 3

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 4

    Dedi Padiku 4

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 5

    Dedi Padiku 5

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 6

    Dedi Padiku 6

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...

Bab 7: penghinaan

Diposting oleh Dedi Padiku
naskah mengejar mimpi bab: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Rupanya hisam masih menyimpan dendam kepada kami. Dan malam ini ia mendapatkan kesempatan untuk melecehkan aku, suanda, dan iwan. Diteras apotik ia duduk bersama pacarnya sambil mengumbar kemesraan. Aku tahu sengaja ia memperlihatkan kepada kami bahwa ia dengan mudah saja mendapatkan wanita manapun. Kami tak peduli dan tetap mencuci mobil, tapi telinga kami tetap saja ingin mendengar kata-katanya yang terang-terangan menyindir kami.
”kasihan sekali, bertahun-tahun membanting tulang tak ada juga wanita yang sudi menjadi pacar mereka”. Hisam meninggikan suaranya. Apotik yang memang selalu ramai, menjadi lebih meriah dengan orang-orang yang ingin melihat hisam melecehkan kami. Bagi orang-orang kampung kami ini adalan acara yang sangat bagus untuk bahan tertawaan. Dan mereka suka memanas-manasi orang tanpa bersimpati sedikitpun.
Kali ini hisam telah mempersiapkan segalanya. Ia dan gengnya berkumpul disitu tertawa terbahak-bahak. Hisam menggandeng pacarnya menyebrang jalan menuju kearah kami. Mungkin ia tak puas jika tak melihat wajah kami saat menyindir. Kami bertiga berpandangan mencari cara untuk menghadapinya. Suanda yang kuanggap ahli dalam bidang ini belum juga mendapat inspirasi. Aku berharap ia akan mendapatkan ide cemerlang untuk menghadapi hisam malam ini.


Kali ini hisam tak main-main. Pasti ia akan menghina kami habis-habisan. Semua orang yang berada diapotik memandang kearah kami. Bahkan beberapa pasien yang berada didalam klinik disamping apotik ikut keluar melihat apa yang akan dilakukan hisam terhadap kami.
Orang-orang yang menunggu resepnya di apotik ikut berdesak-desakan dipinggir jalan. Kini kami bagaikan monyet sirkus ditengah lapangan sebagai hiburan. Hisam mendekatiku. Wajahnya seperti tak sabar akan segera menghina. Dan betul juga.
”kasihan sekali nasibmu kawan”. Ia memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki sambil bersungut-sungut seperti kambing tertelan biji mangga. Kemudian ia melanjutkan lagi cercaannya.
”lihatlah dirimu itu tak pantas menjadi sainganku”. Ia mencium pacarnya didepanku. Aku masih diam tak peduli. Hisam meninggikan suaranya bertanya kepada pacarnya.
“sayang apa kau mau menjadi pacar pria miskin ini”. Hisam menyeringai seperti raja jin kurang sajen. Pacarnya memandangku muak seakan ingin mengejekku.
”ah.....tidak mungkin sayang, melihatnya saja aku ingin muntah”. Aku terkejut. Suara tawa penonton pecah riuh rendah berdesak-sesakkan sampai kepinggir jalan.
Wajah suanda dan iwan merah padam tak sabar menunggu isyarat dariku ingin segera menyumbat mulut hisam dengan kain lap yang barusan digunakan membersihkan spatbor mobil. Aku masih sabar berusaha membesarkan hatiku. Namun kata-kata hisam sungguh menyakitkan hati, sulit aku terima hinaannya itu sangat keterlaluan.
”ia siapapun takkan sudi dengannya, orang tuanya saja pergi meninggalkan dia begitu saja”. Aku tersentak. Hatiku bagaikan ditusuk sebilah pedang berkarat. Aku tak menyangka hisam akan sekejam itu. Air mataku mengalir tak tertahankan. Selama ini tak ada yang pernah menyinggung masalalu keluargaku. Ini adalah penghinaan terberat dalam hidupku. Tubuhku bergetar kakiku tak teguh. Selain menangis aku tak bisa berbuat apa-apa, karena kenyataanya memang begitu. Aku tak lagi memperhatikan suanda yang meronta-ronta berusaha melepaskan pelukan iwan. Ia berteriak-teriak menyumpahi hisam.
”kurang ajar kau hisam, anjing kau, anak haram, sini kalau berani lawan aku”. Suanda telah kalap berusaha sekuat tenaga menjangkau apapun yang bisa digunakan untuk melempari hisam. Namun iwan tetap berusaha menahannya.
”iwan lepaskan, aku mohon”. Suanda memohon namun iwan tetap memeluknya. sebab iwan tahu kalau kita terpancing emosi hisam merasa menang. Sebab itulah tujuannya. Kini mereka berguling-guling beradu tenaga.
Penonton yang menyadari itu langsung menyuruh hisam dan gengnya pergi. Suanda tersengal-sengal nafasnya tak teratur. Dan iwan yang sudah mulai kehabisan tenaga tak kuat lagi menahan suanda. Dan pada detik itu suanda terlepas. Untung penonton sempat menahannya sebelum berhasil sampai menonjok hisam. Aku jadi terharu melihat suanda. Begitulah kawan, meskipun suanda suka menjahili temannya tapi dia adalah orang yang menjujung tinggi nilai persahabatan. Ia sangat setia kawan, meskipun nyawa taruhannya ia tak kan membiarkan temannya mati sendirian.
Aku merasa agak sedikit tenang. Untunglah disaat mentalku ambruk, ada sahabatku yang telah menghiburku. Bertahun-tahun mereka berada disampingku, akan selalu ada disaat aku membutuhkan mereka. Ternyata kejadian itu telah menjadi hikmah bagiku. Kejadian itu telah membuka mata hatiku dan menyadari bahwa selama ini masih ada orang yang begitu setia menyayangiku.
Setelah kedua orang tuaku meninggalkanku, aku tak percaya lagi akan kasih sayang. Aku tak percaya lagi akan cinta suci. Karena orang yang seharusnya mencintai dan menyayangiku malah pergi begitu saja entah kemana. Aku semakin tak sanggup menahan air mata. Iwan yang melihat aku menangis tak sadar matanya telah basah. Ia terisak-isak memelukku. Hidungnya berair. Matanya memerah berusaha menahan tangis. Aku tahu mereka sedih melihatku, karna sejak kecil bersama mereka tak ada yang bisa membuatku menangis selain teringat akan kedua orang tua dan adik-adiku. Dan sejak itu mereka berusaha agar tak sedikitpun bertanya tentang kedua orang tuaku. Dan berusaha agar aku melupakan masaalahku. Persahabatan kami melebihi apapun yang ada didunia ini. Kami tertawa bersama, berjuang bersama, dan menangispun bersama.
Kupandangi wajah kedua sahabatku, orang-orang yang bersedia menerima aku dengan semua kekuranganku. Mereka adalah orang-orang yang sangat menakjubkan. Suanda yang yatim tak sedikitpun merasa berkecil hati. Malah sebaliknya ia adalah orang yang berjiwa besar. Kemiskinan yang membelit tak sedikitpun bisa menghapus senyum polos dari wajahnya.
Begitu juga halnya dengan iwan. Meskipun ia adalah tulang punggung keluarga tak sedikitpun mengeluh, sejak kecil bertahun-tahun menjadi buruh kasar kuli bangunan. Ada sesuatu yang unik dalam setiap interaksi sahabat-sahabatku. Mengandung daya tarik dalam setiap keputusan. Mengukur potensi diri sendiri dan kemampuan yang dimiliki orang tua, Memprediksi masa depan, menyikapi pandangan orang disekeliling mereka, dan memahami setiap masaalah dari berbagai sudut pandang dengan sangat bijaksana.
Ada sesuatu yang unik dari cara mereka mengekspresikan diri. Bersama sahabat-sahabatku ini aku memahami arti keikhlasan, dedikasi, inisiatif, dan keberanian menyongsong masa depan. Mereka mengajarkan aku menempatkan kepentingan umum diatas segala-galanya. Memberi manfaat sebesar-besarnya untuk orang lain tanpa pamrih.
Maka sejak aku terlahir didunia ini dan terus berjalan kearah peningkatan entropi yang sangat panjang, dan tak seorang pun tahu kapan akan berhenti. Aku pada saat ini merasa bersukur telah mengenal mereka berdua. Mereka telah memberiku arti kehidupan yang kami terjemahkan sendiri. Sampai disini aku merasa orang yang paling beruntung didunia.




dedi padiku | foto | video | blog mengejar mimpi | blog facebook | profil facebook | facegor.

0 komentar :

Posting Komentar

 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More
powered by Blogger Dedi Padiku