naskah mengejar mimpi bab: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Jam sepuluh malam, sudah waktunya aku pulang. Saat aku memasuki halaman rumah pamanku, suanda dan iwan segera merubungku. Rupanya mereka sudah tak sabar ingin segera membantuku menyelesaikan tugas mencuci mobil. Mereka adalah sahabat dekatku. Bahkan persahabatan kami mengalahkan persaudaraan. Sejak kecil kami selalu bersama tak terpisahkan. Suanda dan iwan tak pernah bosan membantuku mencuci mobil setiap malam selama bertahun-tahun. Kedua sifat temanku ini sangat berbeda jauh bagaikan bumi dan langit.
Suanda pembawaannya selalu ceria dan penuh percaya diri. Satu yang paling menonjol yaitu ia selalu mengikuti trend terbaru. Tak jarang ia gemar menonton acara infotainmen di televisi hanya untuk melihat pakain, model rambut, acecoris, cara berjalan dan bahkan cara tersenyum para artis. Ia menciplaknya habis-habisan. Dan jika ia selesai menonton konser band, jangan tanyakan lagu apa yang dinyanyikan kelompok band itu, pasti suanda tak tahu, tapi kalau kita menanyakan tentang kostum apa yang digunakan pesonil band itu, pasti suanda akan menjawabnya tanpa ada kesalahan sedikitpun. Bahkan berapa kali sang vokalis mengganti pakaiannya, suanda hafal betul.
Pernah suatu malam sehabis menonton konser kelompok band peter pan, kulihat ia tertidur sambil seperti orang yang sedang memegang mikropon didepan mulutnya dengan satu tangan, dan tangan yang satunya lagi menujuk-nunjuk keatas seperti gaya sang vokalis menyuruh pengemarnya ikut bernyanyi, namun meskipun ia berusaha mati-matian, orang-orang tetap saja menjulikinya si telmi, telat mikir. Ini karena gerakannya yang laban dan jika berpikir untuk mengambil keputusan pasti akan membutuhkan waktu yang lama untuk membuat ia mengerti.
Sebaliknya iwan yang miskin sama halnya aku dan suanda yang berasal dari keluarga pas-pasan, sangat jarang mengikuti gaya hidup yang lagi menjadi trend diantara anak muda. Iwan berjiwa sederhana, pakaiannya biasa-biasa namun pria pendiam ini otaknya lebih pintar dibandingkan suanda. Dan jika ia berbicara terlihat seperti orang yang sedang memikirkan yang lain dari yang ia ucapkan.
Iwan tergila-gila dengan ilmu spiritual dan sangat percaya dengan hal-hal yang tahayul. Otaknya tak bisa berpikir jernih jika sedang menceritakan kepercayaanya terhadap berbagai benda keramat seperti: keris pusaka, kuburan keramat, dan berbagai macam-macam mustika. Iwan mengetahui persis sejarah masuknya islam keindonesia, tentang kerajaan islam pertama dibanten, dan ia pernah mengatakan kepadaku kalau ia ingin sekali mengunjungi makam para tokoh-tokoh peuang islam dibanten.
Mendengar kisahnya tentang kehebatan kiyai-kiyai dibanten dan keinginannya berguru di pusat segala macam ilmu di banten aku jadi terkagum-kagum. Pantas saja banyak yang mengatakan kalau banten adalah gudang berbagai macam ilmu. Pernah juga pada suatu hari aku, suanda, iwan dan harun duduk di pematang sawah di belakang rumahku. Kala itu sawah telah selesai dipanen. Didepan kami banyak tumpukan batang padi kering yang siap dibakar.
Saat itu melintaslah didepan kami seekor lipan yang cukup besar keluar dari sela-sela tanah yang pecah karena kekeringan. Sontak kami semua meloncat dari tempat duduk tapi anehnya iwan tak sedikitpun bergeming, ia hanya diam membiarkan lipan itu melewati kakinya. Aku dan suanda heran melihat teman kami ini. Tapi harun tak sedikitpun merasa heran. Karna sejak dari dulu ia adalah pengikut setia iwan. Ia percaya dengan sepenuh jiwa apapun yang dilakukan iwan. Bahkan seandainya tadi, jika ia tidak terlanjur meloncat dari tempat duduknya, mungkin ia akan rela menyerahkan kakinya di gigit lipan itu demi pengabdiannya mengikuti kesintingan sang suhu iwan.
Aku dan suanda mendesak iwan agar menceritakan kenapa ia tak menghindari lipan itu. Kulihat ia ragu-ragu wajahnya menunjukan kalau ia hawatir jangan-jangan kami akan membocorkan rahasia penting ini. Ia kelihatan serius dengan penuh pertimbangan. Namun akhirnya ia menyerah juga. Mungkin karna keinginannya untuk membual mendorong ia menceritakan kepada kami.
”ketahuilah kawan......!!!”. katanya sambil menarik nafas dalam-dalam seakan berat sekali menceritakan rahasia ini. Ia melanjutkan lagi.
”lipan sebenarnya mempunyai sebuah mustika”. Suasana menjadi hening, kami terdiam, larut dalam cerita iwan. Kulirik harun, ia seakan ingin memeluk iwan yang sejak dari dulu dianggapnya sebagai suhunya.
”jika kita berhasil mendapatkan mustika itu, maka kita akan menjadi sakti, pandangan kita bisa menembus tembok”. Harun menutup mulutnya dengan tangan, merasa takjub dengan cerita sang suhu.
Kulihat iwan nampak menyesal karna telah membongkar rahasia perguruan yang telah berabat-abat dijaga kerahasiaannya. Ia melanjutkan dengan terpaksa.
”tapi jangan kalian kira gampang mendapatkannya, hanya orang-orang tertentu saja yang akan menemukannya”. Iwan mengatakan kalimat terakhir itu deangan nada seolah orang seperti dialah yang akan mendapatkan mustika itu.
Mendengar itu suanda mengisyaratkan kepadaku bahwa sahabat kami ini sudah tak waras lagi. Perutku sakit karna menahan tawa. Tapi harun tak sedikitpun menganggap iwan kurang waras. Baginya cerita iwan itu betul adanya. Suatu saat akan ada lipan yang datang kepadanya untuk menyerahkan mustika itu.
OOO
Setelah kejadian dipematang sawah itu. Aku menangkap sesuatu yang akan direncanakan suanda. Pasti rencana yang menjengkelkan. Karena aku tahu suanda mempunyai satu bakat yang terpendam dalam bidang menjahili orang. Dan korbannya selalu iwan. Aku pernah menyaksikan sendiri bagaimana suanda mengerjai iwan. Waktu itu aku masih smp. Semuanya berawal pada saat aku menarik angkot. Karna pada saat itu bertepatan bulan puasa, maka aku memutuskan mengajak mereka berbuka puasa disekretariat himpunan kelompok studi, disingkat HKS. Kebetulan pendiri hks itu bapak iskandar makmur yang sering dipanggil ka iyan sering mengajak aku kesana. Karna sering kesana aku jadi akrab dengan para pelajar yang tinggal disitu.
Ka iyan adalah seorang yang menjunjung tinggi kebenaran. Dan tampa pamrih menolong orang. Banyak hal-hal yang telah ia lakukan untuk membantu masyarakat seperti: mendirikan hks untuk menampung orang-orang miskin dan menyekolahkanya, memperjuangkan ratusan guru bantu yang telah bertahun-tahun mengabdi sehingga di angkat menjadi pegawai negri sipil. Dan sering dengan berani ia melawan para pejabat di daerah kami gorontalo yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. karena kebersihan hatinya itu banyak masyarakat yang menghormatinya.
Selesai buka puasa bersama, ka iyan mengajak kami shalat magrib berjamaah di sekretariat itu. Tampak jelas dari wajah ka iyan bahwa ia tak perduli lagi dengan urusan dunia. Dua tanda hitam dijidatnya menandakan kalau ia tak pernah ketinggalan sedikitpun waktu shalat. Pada saat meluruskan saf ka iyan mngajak aku, suanda, dan iwan berada di belakangnya. Ka iyan yang menjadi imam waktu itu.
Ia menoleh kebelakang dengan maksud menyuruh seseorang untuk membacakan iqamat sebagai tanda panggilan salat dimulai. Tapi belum sempat ka iyan mendapatkan orang yang akan membacakan iqamat. Serta merta suara suanda membahana dalam ruangan.
”iwan....!! cepat kau bacakan iqamat !”. iwan yang saat itu tak menyangka kalau suanda akan menyuruhnya membaca iqamat kaget tak alang kepalang. Masaalahnya iwan sama sekali tak bisa membaca iqamat. Suanda yang mengetahui hal itu, cekikan menahan tawa yang hampir saja meledak. Aku menggiggit lidahku berusaha mengalihkan rasa ingin tertawa, perutku kaku menahan tawa terlalu lama.
Saat itu wajah iwan pucat bagaikan mayat hidup. Tubuhnya gemetaran. Tak dapat kubayangkan betapa memalukan di depan ka iyan dan puluhan anak-anak hks tidak bisa sama sekali membaca iqamat. Dan apa bila itu sampai terjadi tak diragukan lagi mereka mengira iwan tak pernah shalat seumur hidup. Suanda masih tetap cekikan menahan tawa melihat keadaan iwan. Semua diam menunggu iwan membacakan iqamat. Aku tak tega juga melihat iwan yang seperti anak kecil memohon kepadaku. Maka aku langsung membacakan iqamat menggantikan iwan dengan suara yang agak sedikit berat karna masih menahan tawa.
Iwan menatapku dengan rasa haru, seandainya tak ada siapa-siapa disitu, ia pasti telah mencium tanganku sebagai bentuk terima kasih tak terhingga. Aku masih tak habis pikir dengan suanda. Bayangkan saja dalam keadaan seperti ini sempat-sempatnya terpikir olehnya untuk mengerjai iwan. Sudah pernah kan aku katakan kepadamu kawan bahwa suanda adalah orang yang dalam dirinya di jejali bakat untuk menjahili orang.
Ia bisa melihat kelemahan orang lain. Padahal ia sendiri juga tak bisa membaca iqamat. Aku tahu itu karna beberapa hari lalu sebelum ia menjahili iwan kami pernah shalat bersama sepupuku. Untungnya kami bertiga hanya salat dirumah. Dan seandainya di masjid mungkin suanda akan merasakan hal yang sama dengan yang dirasakan iwan. Namun lihatlah suatu saat nanti ia akan mendapatkan karmanya. Tuhan telah mencatatnya dan akan membalasnya melalui orang lain tampa ia duga sama sekali. Satu pelajaran yang kudapat yaitu: hafallah iqamat kalau tak ingin dibilang orang tak pernah shalat.
dedi padiku | foto | video | blog mengejar mimpi | blog facebook | profil facebook | facegor.
0 komentar :
Posting Komentar