naskah mengejar mimpi bab: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Sudah sejam lebih aku menunggu antrian di jalur jurusan kota menuju suwawa, tak ada juga tanda-tanda penumpang yang akan naik. Kuhitung mobil yang berada didepanku. Aku berada diurutan ketiga. Para calo dan kendektur tampak kurang bersemangat, suaranya parau karena seharian berteriak-teriak memanggil penumpang. Ingin aku keluar dari jalur tapi mengingat waktuku yang kuhabiskan cukup lama untuk berada diurutan ketiga. Maka aku pasrah saja.
Biasanya tak sampai satu jam mobil yang didepan akan penuh oleh penumpang. Tapi sejak jam lima sore tadi sampai sekarang jam enam lebih belum juga mobil yang didepan beranjak. Jalur bergerak sangat lambat. Akhirnya penumpang datang juga, jam tujuh mobilku telah penuh, aku langsung tancap gas meninggalkan terminal. Penumpang dalam mobilku menikmati lagu dari tape butut mobilku. Meskipun tape itu sudah tua, tapi sangat bermanfaat untuk mengusir kejenuhan penumpang didalamnya.
Disepanjang jalan tak terhitung ada penumpang yang turun naik. Meskipun banyak penumpang yang turun, mobilku tetap penuh terisi, sebab di sepanjang jalan banyak juga penumpang potong yang naik. Lima puluh meter didepanku didepan apotik yang menjadi tempat berkumpul orang-orang dikampungku, berdiri seorang pria berusaha menghentikan mobilku. Pria norak itu tak lain adalah suanda. Aku menduga ia hanya ingin ikut denganku, karena biasanya jika ia telah selesai membantu ibunya berjualan rokok dengan gerobak dorong dipinggir jalan ia pasti akan ikut denganku sampai jam sepuluh malam.
Tapi kali ini aku heran melihat tingkahnya. Ia menyuruh turun semua panumpangku untuk mencari mobil lain. biasanya hal ini terjadi jika ada orang yang mencarter mobilku. Atau ada orang yang sakit yang harus buru-buru diantar kerumah sakit. Dan kemungkinan terakhir, pamanku mendadak mau memakai mobil ini.
”dedi cepat masukan mobil kehalaman”. Perintah suanda tegas tak memberiku alasan. Wajahnya serius tak sedikitpun tersenyum. Aku ketakutan menanti berita yang akan ia katakan. Siapa yang sedang sakit parah dan harus cepat-cepat dilarikan kerumah sakit itu. Tanyaku dalam hati.
Berbagai pertanyaan muncul dikepalaku. Jantungku berdegub kencang ketika suanda akan mengeluarkan kata-kata. Aku berharap malam ini tak ada siapa pun yang harus dilarikan kerumah sakit. Kupalingkan wajahku melihat kesebrang jalan. Disana disamping apotik hiruk pikuk berbagai manusia. Bukan saja orang-orang dikampungku yang berada disitu. Tapi orang-orang dari kampung seberang juga membeludak hadir ditempat itu. Aku baru ingat malam minggu ini adalah malam peresmian kafe milik pak jefri yang juga pemilik apotik di depan rumah pamanku ini.
Aku menduga mungkin pak jefri mau menyuruhku untuk menjemput orang-orang penting yang akan meresmikan kafe itu. Aku sangat senang jika itu yang akan dikatakan suanda. Karena pak jefri orangnya sangat baik, aku tak keberatan membantunya meskipun aku kehilangan penumpangku tadi.
Suanda menyeretku belum mengatakan apapun. Aku pasrah saja ketika ia menarik tanganku menuju lorong disamping rumah pamanku. Aku langsung bisa menebak pasti ini menuju rumahku. Betul saja ketika aku membuka pintu kamarku, aku terperanjat melihat iwan sedang bergaya didepan cermin. Malam ini ia sangat rapi. Ia sama sekali tak memperdulikan kami. Ia sibuk berputar-putar didepan cermin melihat seluruh badannya dari arah depan, samping, dan belakang. Melihanya begitu aku sempat khawatir jangan-jangan ia ingin melihat badannya dalam bentuk terbalik yaitu kepala kebawah kaki keatas.
Aku semakin penasaran dengan apa yang akan suanda lakukan kepadaku. Apa lagi mereka berdua sangat lain malam ini. Stelan pakaian mereka mengalahkan dandanan orang yang akan berangkat keondangan.
”dedi cepat kau mandi waktu tak banyak lagi”. Hardik suanda. Aku terbengong-bengong melihat tingkah suanda. Inginnya aku bertanya tapi dengan cepat suanda memotong. Rupanya ia membaca pikiranku.
”jangan banyak tanya, nanti kujelaskan sebentar”. Suanda nampak buru-buru sekali.
”air sudah siap di bak mandi, cepat sana”. Lanjutnya. Herannya aku hanya bisa menurut saja. Aku tak tahu apa yang telah merasuki kepalaku. Aku juga tak sedikitpun tahu rencana mereka. Yang aku tahu aku hanya bisa menurut saja ketika suanda menyuruhku. Bahkan untuk bertanya pun lidahku terasa kelu.
Selesai mandi aku semakin bertambah heran, suanda dan iwan tak sabar menungguku. Suanda mengeluarkan sepasang pakaian kaus dan celana panjang jins baru dari dalam kantong plastik. Lagi-lagi belum sempat aku bertanya suanda cepat-cepat memotongku.
”sudah. Jangan banyak tanya”. Ia tak segan-segan menarik handukku. Untung saja tak ada siapa-siapa selain kami bertiga didalam kamar ini. Aku semakin tak habis pikir dengan rencana sinting mereka.
Kini aku seperti anak kecil yang diperlakukan sesuka hati mereka. Iwan memakaikan celana panjang, suanda bertugas memakaikan kaus yang masih tercium bau kaus baru. Setelah itu iwan memakaikan kaus kaki dan sepatu baru yang entah darimana mereka dapatkan. Sedangkan suanda sibuk mengusapkan minyak rambut gasby dikepalaku tanpa ada perasaan sedikitpun. Aku hanya bisa mengeluh dalam hati ketika suanda menarik-narik rambutku. Mereka mengerjakan itu semua seperti orang yang sudah berpengalaman yang barusan lulus dari sekolah kecantikan dengan prestasi terbaik.
Dan yang terakhir dengan satu gerakan cepat suanda menyemprotkan parfum diseluruh tubuhku. Setelah itu mereka mengamatiku berputar-putar seakan sedang menilai hasil akhir dari eksperimen orang-orang frustrasi seperti mereka.
”oke....mantap, sekarang lihatlah dirimu kawan”. Teriak suanda. Aku sempat heran melihat diriku sendiri. Rambut berdiri kaku keras seperti landak. Kaus ketat coklat celana panjang gomrang lebih tepatnya dibilang sarung. Sebab celana itu modelnya besar sesuai model yang lagi trend saat itu. Tapi aku merasa senang dengan model ini. Apa lagi ketika aku melihat acecoris yang kuanggap aneh yaitu: kalung yang aku duga dirancang sendiri oleh suanda dari tali sepatu, gelang yang berpola rantai kapal yang tak salah lagi pasti terbuat dari kabel listrik.
Bisa kubayangkan kesusahan suanda selama seharian hanya untuk merancang benda norak ini. Tapi tak mengapa setidaknya aku tampil beda malam ini. Aku gugup bukan main saat keluar rumah dengan gaya rambut seperti landak ini. Aku berdiri mematung didepan rumah. Sepupuku yang baru datang menertawakan aku sampai terguling-guling.
”kau habis di sambar petir di mana”. Ejek sepupuku. Rasanya aku ingin kabur saja masuk kembali kerumah. Aku menyesal telah mendengar suanda. Sebenarnya tadinya aku tak mau. Tapi karena suanda memang berbakat dalam menghasut jadi aku termakan hasutannya.
Aku malu memperlihatkan gaya rambutku pada orang-orang diluar sana. Tapi pada saat aku akan melangkah mundur. Suanda menhampiriku.
”jangan takut kawan perubahan memang sulit diterima, dan itu yang sering terjadi dengan orang-orang kampung kita, anggap saja ini adalah langkah awal untuk menuju kebaikan”. Suanda menguatkan aku. Suanda dan iwan mengapitku ditengah, menuntunku dengan gagah berani. Ada mereka berdua disampingku, aku tak gentar menhadapi badai cemohan. Kami bertiga melangkah penuh gaya siap memperlihatkan kepada dunia.
dedi padiku | foto | video | blog mengejar mimpi | blog facebook | profil facebook | facegor.
0 komentar :
Posting Komentar