• slide 1

    Dedi Padiku 1

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 2

    Dedi Padiku 2

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 3

    Dedi Padiku 3

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 4

    Dedi Padiku 4

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 5

    Dedi Padiku 5

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 6

    Dedi Padiku 6

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide nav 1

    Dedi Padiku 1

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 2

    Dedi Padiku 2

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 3

    Dedi Padiku 3

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 4

    Dedi Padiku 4

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 5

    Dedi Padiku 5

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 6

    Dedi Padiku 6

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...

Bab 8: pembalasan

Diposting oleh Dedi Padiku
naskah mengejar mimpi bab: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Besoknya aku sengaja tak pergi sekolah. Aku ingin menghabiskan waktu bersama kedua temanku ini. Suanda yang melihat aku tak sekolah memutuskan juga tak masuk sekolah. Sedangkan iwan yang sejak kelas tiga sekolah dasar berhenti sekolah memanjakan dirinya hari ini untuk tidak masuk kerja sebagai kuli bangunan. Diluar kamar aku mendengar suara kaki yang meloncat-loncat berhenti didepan pintu kamarku. Kami bertiga tahu kalau yang berada dibalik pintu kamarku itu adalah tanteku.
Kami sering memanggil tanteku dengan nama mami aco. Kaki sebelah kanannya pendek dan kecil, sehingga kalau berjalan ia harus meloncat-loncat dengan kaki kirinya. Mungkin karna cacatnya sejak kecil itu, sampai sekarang belum ada seorang pria pun yang melamarnya. Padahal umurnya sudah tiga puluan. Namun meskipun cacat tak sedikitpun menghalanginya melaksanakan perkerjaanya.
Mami aco telah menganggap kami bertiga seperti anaknya sendiri. Karena sejak kelas satu SD kami telah mengenal rumah ini. Selain mami aco, aku, suanda, dan iwan ada satu lagi yang tinggal dirumah ini yaitu sepupuku laki-laki yang berumur tujuh tahun adi. Nasibnya sama dengan aku yaitu ditinggal kedua orang tua sejak kecil. Dan mami aco inilah yang membesarkan kami dengan hasil membuat kue dan kacang goreng yang aku titipkan diwarung-warung didekat rumah. Sekarang adi yang menggantikan tugasku itu. Jika mengenang itu aku menjadi sangat sedih dan tak terasa mataku telah basah. Untung ada temanku yang selalu menghiburku. Kelak suatu saat nanti , aku akan menceritakan kepada dunia tentang semua ini.


Dari balik pintu terdengar suara mami aco.
”dedi kalau mau makan ambil saja sendiri dibelanga, ikannya ditutup diatas meja, jangan lupa sehabis makan ditutup lagi”. Kami bertiga menjawab dengan serentak. Dan kemudian tertawa bersama-sama pula. Kami menganggap lucu dengan jawaban kami yang tiba-tiba sama dan diucapkan dengan bersamaan pula. Kami seperti telah membuat janji untuk jawaban yang sama itu. Aku tahu dibalik pintu itu mami aco sedang menertawakan kekonyolan kami. Karena setiap ada hal-hal lucu yang terjadi diantara kami ialah orang yang akan menjadi penonton dan pemberi komentar. Mami acolah yang menjadi saksi setiap kebodohan dan kekonyolan yang kami lakukan.
Pernah suatu hari suanda menyiram teh, biasanya setelah menyiramnya ia mendinginkannya diatas meja. Namun diam-diam iwan akan menghabiskan teh itu. Suanda yang tak mengetahui hal itu biasanya berteriak kaget melihat gelas tehnya telah kosong. Tentu saja ia tak bisa menuduh iwan begitu saja, karna ia tak cukup bukti. Dan kejadian itu selalu terjadi. Hingga satu saat suanda telah bosan selalu kehilangan teh manisnya. Dan diapun mencampur teh dengan garam yang cukup banyak, Kemudian dia meletakannya ditempat biasa.
Iwan yang tak menyadari perangkap suanda, langsung meminumnya dengan buru-buru karena takut ketangkap basah. Dan saat itu juga iwan menumpahkan semua teh dalam mulutnya. Mami aco yang sempat melihat kejadian itu, tertawa setengah mati. Iwan meminta mami aco agar tak menceritakan kejadian itu. Ketika aku dan suanda datang iwan berpura-pura acuh tak acuh seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tapi kami melihat teh digelas tinggal seperempat. Kami memandangi wajah iwan berharap ia akan mengakuinya. Tapi tak sedikitpun ia tertawa, bahkan untuk meyakinkan kami ia berpura-pura bertanya kenapa kami memandangi wajahnya.
Hampir saja aku dan suanda tertipu dengan ektingnya. Kami sempat berpikir jangan-jangan adi yang telah kena perangkapnya. Karena selain kami tak ada lagi siapa-siapa yang tinggal dirumah ini. Namun pada saat kami berpikir heran, aku mendengar mami aco cekikan berusaha menahan tawa. Serentak aku dan suanda menoleh kearahnya. Dan saat itu juga meledaklah tawa kami semua. Iwan hanya bisa pasrah dengan kekalahannya. Namun aku menangkap sesuatu yang ganjil dari raut wajah iwan. Aku tak tahu apa artinya yang jelas ia telah mempunyai satu rencana yang tak sedikitpun diketahui suanda.
Malamnya setelah mencuci mobil kami langsung pulang kerumah. Iwan tak pulang bersama kami. Katanya ia nanti akan menyusul lima belas menit kemudian. Kami heran akan sikapnya. Biasanya ia akan memberitahu kami jika akan melakukan sesuatu. Tapi kali ini ia langsung memisahkan diri tanpa ada alasan yang jelas. Kami tak sempat menaruh curiga kepadanya.Tapi aku tetap melihat sesuatu yang aneh dari wajahnya. Dan biasanya firasatku itu sering terjadi.
Aku langsung tertidur karna capek seharian menarik angkot. Aku tak tahu lagi iwan masuk jam berapa. Dan ketika aku terbangun jam enam pagi, aku hampir berteriak. Iwan berdiri disampingku menempelkan jarinya dibibirnya menyuruh aku diam. Aku tak tahu apa yang baru saja ia lakukan. Tak lama kemudian suanda bangun. Iwan tersenyum-senyum sendiri. Aku dan suanda berpandangan saling meminta penjelasan. Rupanya kami berdua juga tak bisa mengartikan senyumnya itu. Aku hanya menduga mungkin semalam ia telah bermimpi bertemu dengan mr. Been. Atau urat saraf senyumnya telah korsleting.
Tiba-tiba dalam senyumnya ia mengatakan kalau disudut matanya suanda ada tahi mata yang besar. Dengan malas suanda membersihkan tahi mata itu dengan jarinya. Namun sungguh aneh tak lama kemudian suanda langsung meloncat berteriak-teriak keluar dari dalam kamar. Iwan tertawa terguling-guling memegang perutnya. Aku masih tak mengerti dan mendesak iwan agar memberitahuku. Iwan tak bisa menjelaskan sebab ia tak bisa menghentikan tawanya. Dengan masih terguling-guling ia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Aku langsung tertawa sejadi-jadinya, ternyata iwan telah memoles semua jari tangan suwanda dengan balsem cincau. Bahkan katanya seandainya tadi aku tidak mengganggunya, ia juga akan memoles semua jari kakinya suanda meskipun tak mungkin suanda akan membersihkan matanya menggunakan jari kaki.
Rupanya senyum iwan yang kutangkap kemarin itu tak salah lagi. Inilah arti senyumnya. Ia telah membalas suawanda dengan sempurna. Begitulah mereka berdua, ada-ada saja yang terjadi setiap hari. Namun meskipun kami saling menjahili, itu hanya sebatas bermain, tak pernah kami saling dendam. Tak terhitung kejadian-kejadian konyol yang sering terjadi diantara kami. Itu semacam cara kami menikmati hidup. Cara yang sangat manjur untuk menghibur diri kami. Dan aku yakin cara seperti ini akan sulit ditemukan dalam kehidupan anak-anak kaya. Karena seandainya mereka mengalaminya aku yakin mereka tidak akan mencari hiburan deangan cara-cara yang dilarang agama.
Mereka anak-anak kaya yang menganggap uang adalah segalanya, tak jarang mencari kesenagan yang menjerumuskan mereka kedalam bentuk yang merugikan. Sebaliknya kami tak pernah mengenal hal-hal aneh seperti yang dilakukan mereka yaitu: acara ulang tahun yang dibuat semeriah mungkin, melihat matahari yang terbit dihari pertama tahun baru di tempat-tempat dinegara lain, atau semacam menikmati pesta mabuk-mabukan.
Aku sering tak habis pikir melihat orang-orang yang serba berkecukupan masih saja merasa kurang. Semua kebutuhan dapat dengan mudah dipenuhi tapi masih saja bersedih hati. Bahkan tak jarang ada yang mati bunuh diri. Melihat fakta itu aku menemukan semacam satu kesimpulan bahwa tuhan itu memang adil. Lihat saja kami yang miskin tetap saja bisa tersenyum lebar. Hati kami selalu bahagia jarang merasa cemas, takut, gelisah, seperti yang sering dialami pejabat- pejabat negri ini yang was-was jangan-jangan akan dicopot dari jabatannya.


dedi padiku | foto | video | blog mengejar mimpi | blog facebook | profil facebook | facegor.

0 komentar :

Posting Komentar

 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More
powered by Blogger Dedi Padiku