• slide 1

    Dedi Padiku 1

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 2

    Dedi Padiku 2

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 3

    Dedi Padiku 3

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 4

    Dedi Padiku 4

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 5

    Dedi Padiku 5

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 6

    Dedi Padiku 6

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide nav 1

    Dedi Padiku 1

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 2

    Dedi Padiku 2

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 3

    Dedi Padiku 3

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 4

    Dedi Padiku 4

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 5

    Dedi Padiku 5

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 6

    Dedi Padiku 6

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...

Bab 6: Ranjang antik

Diposting oleh Dedi Padiku
naskah mengejar mimpi bab: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Dari halaman rumah pamanku terdengar suara beberapa pemuda yang kukenal sedang asik berbicara. Setelah selesai mencuci mobil aku, suanda, dan iwan langsung menghambur keasal suara itu yaitu apotik berkah yang terletak di sebrang jalan. Kulihat hisam yang mengambil alih pembicaraan. Tak salah lagi pasti ia sedang membualkan tentang pacar-pacarnya.
Kami bertiga langsung bergabung. Hisam masih tetap bersemangat membual meskipun sudah pukul sebalas malam. Memang sudah tabiatnya selalu melebih-lebihkan dirinya. Ia menganggap dirinya seorang pria maco. Seperti suanda, hisam juga amat percaya diri, atau lebih tepatnya kegeeran. Ia mengatakan kalau soal wanita serahkan kepadanya pasti tak sampai beberapa menit akan bertekuk lutut dihadapannya.
Tak jarang pula banyak wanita yang sakit hati, ingin cepat-cepat keluar dari dalam apotik cuma karena merasa muak melihat gayanya yang sok ganteng. Tapi anehnya ia tetap tak menyadarinya, malah ia yakin kalau wanita-wanita itu sebenarnya bersimpati kepadanya. Cuma meraka malu mengakuinya. Aku merasa hisam bukan cuma menderita penyakit kegeeran. Ia juga mengidap penyakit mati rasa tak tahu lagi membedakan perasaan muak dan senang dari orang lain.


Karena sifatnya yang merasa selalu di puja wanita itu, kami menjulukinya si talib. Lain lagi dengan sitalib, ia adalah perjaka tua di kampung kami. Tiga puluh tahun lebih ia menyandang gelar bujang lapuk. Ia mempunyai sifat seperti hisam, malah lebih parah lagi, setiap ada wanita yang tak sengaja sempat bercerita dengan dia walaupun hanya sekedar bertanya tentang alamat, talib akan mengatakan kalau wanita yang barusan itu ingin sekali mengajaknya kencan.
Mulanya kami menganggap talib hanya bergurau, namun setelah sekian lama ternyata ia memang serius. Dan ada satu kejadian yang sangat seru membuat kami yakin kalau dia memang orang yang paling kegeeran. Aku memang tak menyaksikan langsung kejadian itu. Tapi setelah aku mendengar semua orang menceritakannya aku jadi percaya.
Awalnya ada seorang pembantu wanita didekat rumahnya talib. Karena tetangga maka mereka sering ketemu dan berbicara didepan rumah sipembantu itu. Lagi pula pembantu itu menganggap sitalib adalah kakaknya. Tapi si talib beranggapan lain. Ia merasa kalau pembantu itu mencintainya. Setelah itu setiap talib bertemu dengan siapa pun dikampung kami ia akan menceritakan kalau pembantu itu adalah pacarnya.
Saat meceritakan itu, siapa pun yang mendengarnya akan percaya, sebab wajahnya talib memang bersungguh-sungguh. Tak ada kebohongan yang tersirat dari wajahnya. Malah ia mengatakan akan melamar pembantu itu. Dan wajahnya talib waktu itu kata orang-orang sangat bahagia bersemangat sekali matanya berbinar-binar. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Karena beredar berita kalau pembantu itu mempunyai pacar.
Berita itupun sampai ketelinga talib. Talib membantah berita itu katanya hanya ada satu pria di hati pembantu itu yaitu hanya namanya. Bahkan talib mengatakan pada orang-orang kalau pembantu itu menagis dalam pelukannya saat talib menanyakan kebenaran gosip itu.
”kalian lihat kan matanya memerah”. Kata talib menunjuk si pembantu yang lagi membersihkan debu-debu yang menempel di langit-langit teras rumahnya. Memang mata wanita itu memerah tapi bukan karena menangisi talib. Itu karena debu dari flapon masuk kematanya.
Orang yang memang sudah mengetahui tabiat talib berpura-pura membenarkannya. Rohmat yang saat itu berada didekat talib menepuk-nepuk pundaknya.
”ia betul juga, kau memang pria yang romantis”. Puji rohmat sambil menahan tawa. Semua yang melihatnya langsung tertawa terguling-guling. Talib sumringah merasa diri paling tampan.
Tibalah momen yang paling dramatis itu. Malam minggu seorang pria duduk diatas motor nya bercakap-cakap dengan seorang wanita yang tak lain pujaan talib. Talib yang melihat kejadian itu langsung naik pitam. Ia tak terima kekasihnya diambil orang. Maka dengan serta merta ia menghampiri pembantu itu. Tampa banyak kata langsung menamparnya.
”cepat kau masuk rumah. Dasar tak tahu diri”. Talib menyeret pembantu itu kedalam rumah. Tentu saja wanita itu kaget kenapa talib sampai menamparnya. Sedangkan pria diatas motor terperanjat bingung. Namun belum sempat berkata talib langsung menhajarnya. Untung majikan pembantu itu mengamankan mereka. Dan setelah tahu persoalannya, ia hanya bisa tertawa melihat talib yang telah kalut, napasnya cepat, dadanya turun naik.
Setelah kejadian itu, nama talib yang menjadi istilah ketika ada pemuda dikampung kami yang berusaha menggoda wanita. Dan hisamlah yang di anggap paling cocok untuk julukan itu. Tapi ketika kami melekatkan julukan itu kepadanya. Hisam akan marah besar. Tak segan-segan ia akan membalas dengan menghina.
Seperti sekarang ini meledak emosinya setelah aku mengatakan itu.
”dedi, bukannya sombong, banyak cewek-cewek yang mengantri ingin jadi pacarku”. Mukanya hisam memerah seakan ia ingin menelanku bulat-bulat. Aku malah tergoda untuk melecehkannya biar dia tahu rasa karna terlalu sombong. Dan ia juga selalu meremehkanku karna tak kunjung mendapatkan pacar. Di kampungku telah menjadi semacam kebiasaan jika tak mempunyai pacar akan dilecehkan habis-habisan. Dan dalangnya tentunya hisam.
”hisam jangan-jangan kau telah meminum sisa kopinya talib”. Kataku sambil tertawa. Semua yang berada di apotik itu tertawa terpingkal-pingkal. Hisam semakin muntab. Baru kali ini aku mendapatkan kesempatan membalas semua pelecehannya kepadaku.
Dan suanda yang memang berbakat dalam hal ini ikut ambil bagian.
”hisam……betul juga kau telah meminum sisa kopinya talib!?”. tanya suanda dengan wajah sangat serius seolah-olah ia prihatin mengetahui hal itu. Aku cekikan menahan tawa. Semua langsung tertawa melihat wajah suanda yang menatap hisam dengan rasa iba. Kali ini hisam tak berdaya. Ia hanya bisa berteriak dalam hati. Tapi bukan berarti ia tak akan membalas semua ini. Ia tak kan melepaskan kami begitu saja. Belum pernah ada yang berani melecehkannya seperti ini. Karena mereka takut hisam akan menghina mereka. Dan siapapun yang berani bermusuhan dengannya pasti akan kalah. Atau lebih parah lagi hisam akan merampas pacar mereka. Tapi kali ini aku, suanda, dan iwan telah membalasnya dengan sempurna. Rupanya ada gunanya juga bakat suanda yang menjengkelkan itu.
Hisam melihat wajah kami satu persatu. Mencari-cari sesuatu yang mungkin akan digunakan untuk menyerang kami. Namun iwan tak memberinya kesempatan.
”sorry kawan tak perlu meminum sisa kopinya talib jika ingin menjadi playboy, atau jika kau kekurangan kopi datanglah kerumahku”. Sindir Iwan sambil menepuk-nepuk pundak hisam. Di tepisnya tangan iwan dengan geram. Sontak apotik menjadi ribut oleh suara tawa. Kulihat ada yang tertawa sambil menghentak-hentakan kakinya, ada yang tertawa sambil menepuk-nepuk meja. Dan ada yang sampai keluar air matanya.
Iwan memberi isyarat kepadaku dan aku tahu maksudnya. Sejak kecil kami selalu bersama kadang membuat kami peka akan kode-kode yang di isyaratkan oleh salah satu diantara kami bertiga. Suanda yang juga menangkap sinyal yang dilayangkan iwan melalui matanya, langsung mengerti. Serentak kami bertiga berdiri menyalami hisam bergantian bermaksud untuk menegaskan kekalahannya malam ini dan langsung meninggalkan apotik itu. Suara riuh dari apotik masih terdengar ketika kami memasuki lorong menuju rumahku.
Didalam kamar aku langsung menghempaskan tubuhku dilantai yang beralaskan tikar. Ranjang yang berumur ratusan tahun dikamar ini telah aku keluarkan. Karena sangat tak nyaman. Alas papanya sudah tak genap lagi dan bergerak sedikit saja suaranya mampu membangunkan seisi rumah. Bahkan gara-gara ranjang antik itu tetanggaku sampai tahu kalau aku tidur jam berapa.
Sempat aku heran dengan tetanggaku itu. Setiap aku akan menumpang mandi di sumurnya. Pak nuke tahu aku masuk kamar jam berapa, dan tertidur jam berapa. Sebenarnya aku ingin sekali bertanya mengapa ia bisa setiap malam tahu tentang itu. Tapi karena aku mau cepat-cepat mandi biar tak terlambat kesekolah, maka selalu saja kusimpan pertanyaan itu. Lagi pula jika tak masuk kamar mandi lebih awal, aku pasti harus menunggu tiga orang perempuan yang kos dirumahnya untuk mengantri mandi.
Akhirnya semua misteri itu terjawab. Tapi sebelum mengetahuinya aku sempat berpikir negatif terhadapnya. Pagi itu aku terlambat bangun karna semalam aku masuk jam empat pagi sehabis menjemput penumpang dari pelabuhan kapal kowandang yang jaraknya hampir dua ratus kilo meter dari rumahku. Tapi herannya lagi ia tahu persis aku masuk jam empat pagi dan sepuluh menit kemudian langsung tertidur pulas.
Dengan masih menahan ngantuk terhuyung-huyung aku menuju sumurnya yang tepat didepan pintu samping rumahku. Nampaknya tiga wanita yang kos dirumahnya berbaris rapi ditambah satu anak perempuannya yang ikut mengantri didepan kamar mandi. Dan yang didalam kamar mandi wawan anak laki-lakinya sedang mandi.
Pak nuke mendekatiku wajahnya penuh tanda tanya.
”dedi semalam habis dari mana sampai masuk jam empat pagi”. tanya pak nuke. Nah inilah kesempatanku bertanya kepadanya sebelum menjawab pertanyaannya.
”pak nuke, sebenarnya dari dulu saya ingin bertanya tapi tak pernah dapat kesempatan. Saya heran kenapa pak nuke tahu jam berapa saya masuk kamar setiap malam”.
”oh....itu aku mengetahuinya dari suara ranjangmu, jika ranjangmu ribut berarti kau sudah pulang, dan biasanya saat mataku terbuka langsung melihat jam weker yang ada didepanku”. Pak nuke menjawabnya seakan tak mengetahui kalau jawabannya itu membuat aku malu. Demi mendengar itu para wanita yang mengantri didepanku jadi tersenyum-senyum sendiri. Aku jadi sangat malu didepan mereka dan menyesal telah menanyakan hal ihwal yang disebabkan ranjang keramat jaman pra sejarah itu.


dedi padiku | foto | video | blog mengejar mimpi | blog facebook | profil facebook | facegor.

0 komentar :

Posting Komentar

 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More
powered by Blogger Dedi Padiku