• slide 1

    Dedi Padiku 1

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 2

    Dedi Padiku 2

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 3

    Dedi Padiku 3

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 4

    Dedi Padiku 4

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 5

    Dedi Padiku 5

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide 6

    Dedi Padiku 6

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum....

  • slide nav 1

    Dedi Padiku 1

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 2

    Dedi Padiku 2

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 3

    Dedi Padiku 3

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 4

    Dedi Padiku 4

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 5

    Dedi Padiku 5

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...
  • slide nav 6

    Dedi Padiku 6

    Foto ini saat pertamakalinya saya tampil di depan umum ...

Bab 18: hidup baru

Diposting oleh Dedi Padiku
naskah mengejar mimpi bab: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Berhari-hari aku tidak keluar kamar hanya terbaring hampa kehilangan seluruh semangatku. Semua warga yang masih menganggap aku sinuhun ilmu sakti mandraguna, bergantian menjengukku, dengan membawa bermacam-macam makanan. Mereka tampak segan didepanku. Dan lagi-lagi yang paling menjengkelkan adalah kedua sahabatku ini suanda dan iwan. Dengan lagaknya yang sok tahu iwan merepet terus bibirnya.
”sudah pernah kukatakan padamu kawan, jika bukan orang yang terpilih memegang mustika itu, akan mengakibatkan mudorot”. Kata iwan dengan sangat bijaksana. Lagi-lagi tentang mustika itu, mereka tetap mengira aku memiliki mustika. Dasar orang-orang sinting. Pikirannya telah dirasuki setan mustika.
”lihatlah dirimu sekarang telah menerima akibatnya, makanya serahkan saja mustika itu kepada yang berhak memakainya”. Saran iwan mengesankan kalau ialah orang yang terpilih untuk memegang mustika yang tidak pernah ada itu. aku berusaha tak mempedulikan ocehannya. Namun tetap saja mendengar ocehannya ingin sekali aku memukul kepalanya dengan gelas yang berada disampingku.


Selain warga desa iton juga setiap harinya datang menjengukku dengan membawa berbagai macam buah-buahan dan minuman kesehatan. Iton juga terus memaksaku untuk pergi berobat kedokter. Padahal sebenarnya aku tidak sakit seperti yang mereka duga. Dan pada suatu malam aku tak pernah menyangka kalau iton datang bersama iyen dan alun. Aku tak sempat menghindar ketika mereka masuk kedalam kamarku. Perasaanku tak karuan ketika iyen memandangku dengan penuh rasa haru. Aku tak sedikitpun meliriknya dan berpura-pura berbicara serius dengan iton.
Disamping iton iyen terus memandangku tak berkedip. Ada guratan kesedihan yang begitu dalam di wajahnya. Alun yang mengetahui hal itu berusaha mengalihkan perhatian iyen. Aku tahu alun tak ingin iyen terus melihatku. Batinku meronta tak tahan melihat kenyataan ini. Rupanya alun berusaha keras agar aku tak lagi mendekati iyen. Biarlah aku juga menginginkan itu terjadi. Aku ingin melihat sahabatku iton bahagia. Dan aku tahu betapa berartinya iyen dimata iton.
Alun terus menarik tangan iyen ketika pamit untuk pulang. Iyen terpaku menatapku seperti tak ingin meninggalkan aku. Ia terus memandangku: dedi apa yang telah terjadi denganmu, mengapa kau jadi seperti ini. Mana semangat dan ketegaranmu yang selama ini aku kagumi dari dirimu. Mungkin demikian arti pandangan iyen. Sedangkan aku tak kuasa untuk tidak manatapnya. Kami seakan larut dalam bahasa hati yang hanya kami berdua yang memahaminya. Tiba-tiba aku teringat akan janjiku untuk bisa melupakannya, maka cepat-cepat aku palingkan wajahku meskipun hatiku tak ingin melakukannya. Aku masih sempat melihat iyen memandangku ketika ia akan melangkah keluar meninggalkan kamarku.
Setelah kepergian mereka, aku dilanda perasaan sepi tak tertahankan, yang pelan-pelan menyelimuti kamarku yang senyap, kemudian merambat kedalam relung hatiku yang paling dalam. Saat itu juga batinku bergejolak, hatiku tak ingin menerima kepergiannya. Namun ada sebagian hatiku berharap untuk melupakannya untuk selamanya. Ya…..untuk selamanya. Aku harus melupakannya, ia bukan miliku dan tidak akan pernah menjadi milikku. Biarlah iyen akan menjadi bagian yang akan mengisi kenangan terindah dalam setiap desahan nafasku, setiap aliran darahku, dan suatu saat nanti yang entah kapan, akan kuceritakan kepada dunia bahwa aku pernah merasakan cinta yang begita indah tak terperi.
Dikamar ini setelah merenungi nasibku, aku menemukan satu cara agar bisa melupakannya yaitu, aku akan berhenti sekolah agar tidak akan bertemu dengannya lagi untuk selamanya. Keesokan harinya aku berangkat pergi ke bonepantai yaitu suatu daerah yang berada di pesisir pantai. Disana ada sepupuku laki-laki yang telah menikah dengan penduduk sana dan manjadi nelayan. Tidak seorangpun yang tahu kemana aku pergi. Termasuk kedua sahabatku suanda dan iwan.
Didalam mobil yang membawaku menuju bonepantai, aku terus terbayang akan semua kejadian bersama iyen. Entah mengapa kenangan itu terus menerus hadir didepan mataku. Semakin aku berusaha keras melupakannya, semakin kuat pula ia hadir. Jalan yang berliku-liku diantara tebing yang terjal menjulur kelaut, semakin menambah nuansa indah bersama hadirnya bayangan iyen dimataku.
Dari balik jendela aku melihat deburan ombak yang saling mengejar, sinar matahari berkilauan menari-nari diatas ombak yang seolah akan menerjang mobil yang aku tumpangi. Kubuka kaca jendela agar lebih bisa menikmati gemuruh ombak, bau air laut menyeruak masuk bersama angin kencang yang menerpa wajahku. Aku merasakan damai yang begitu indah, kesejukan seakan mengantar aku menerobos sudut-sudut kehidupan yang tak pernah aku dapatkan, seolah membawa aku menuju dunia lain yang tak pernah aku jumpai.
Jejeran panjang pohon-pohon kelapa disepanjang jalan yang menjulur kelaut, memutus pantulan sinar matahari diatas air laut yang menyilaukan. Aku larut dalam nuansa yang sangat menakjubkan, seakan aku telah menemukan duniaku sendiri untuk memulai lembaran baru, menyongsong kehidupan yang mungkin saja akan membuat aku lupa akan masa laluku.
Aku turun dari mobil, berdiri didepan lapangan luas desa molotabu. Dipinggir lapangan yang berada didepanku nampak sebuah rumah tua yang luas dan tertata rapi. Diterasnya yang cukup luas seorang anak perempuan saling kejar-kejaran. Saat aku mendekati rumah itu anak perempuan tadi berlari menyongsongku.
”ihhh….kadedi, horeee….kadedi datang”. Mila berlari kearahku, aku membungkukkan badan siap untuk memeluknya. Dalam pelukanku ia tertawa riang penuh kegembiraan. Seumur mila inilah adikku debi berpisah denganku dulu.
Saat mendekapnya aku merasakan seolah sedang memeluk adikku.
”bapak dimana”. Tanyaku mengimbangi semangatnya. Mila masih tersenyum-senyum, wajahnya berseri-seri. Dan matanya berkilat-kilat memancarkan sikap lugu, polos, dan penuh dengan semangat.
”bapak dibelakang sedang memperbaiki jala untuk menangkap ikan, katanya mila tidak bisa mengganggunya, karena kalau jala itu tidak diperbaikki, kata bapak, mila tidak bisa dibelikan mainan lagi”. Jawabnya polos. Mila semakin cerewet, tahun lalu cara bicaranya tidak selancar ini. Dan ia juga sudah bertambah tinggi.
Setelah menurunkan mila aku menyergapnya ketika sedang serius memperbaiki jala di belakang rumah.
”heiiii….tumben datang, bagaimana keadaanmu”. Tanya miman. Sepupuku inilah yang mengajari aku mengemudikan mobil ketika aku masih kelas enam SD. Dan miman jugalah yang selalu menguatkan mentalku ketika takut untuk mengemudikan mobil dijalan pegunungan yang sempit. Namun setelah miman bertahun-tahun menjadi sopir angkot, ia memutuskan untuk menikah dan menetap disini dengan menjadi nelayan.
”aku baik-baik saja”. Jawabku. Kulihat miman seakan ingin menyerbuku dengan berbagai pertanyaan. Dan tak sadar dari mulutnya keluar pertanyaan yang sejak dari dulu ia buang jauh-jauh yaitu menanyakan kabar kedua orang tuaku dan kedua adikku. Ia tahu tentang perasaanku jika mendengar nama-nama itu disebut.
Miman nampak sangat menyesal telah menanyakan itu dan berusaha mengalihkan perhatianku.
”oh…aku lupa kau masih capek sehabis perjalanan, istrahat dulu dikamar depan, tapi kalau mau makan dulu biar aku temani”. Saran miman. Aku menolak semuanya karena aku tak sabar lagi ingin menikmati pantai. Aku ingin mengubur semua masalaluku dipantai itu, menumpahkan semua perasaanku didepan deburan ombak yang bergemuruh seakan menyambutku untuk memulai hidup baru, membuka lembaran-lembaran yang akan mengantar aku kesuatu peristiwa yang mungkin saja akan membuatku lupa akan semua kenangan bersama iyen.
Dibawah pohon ketapang yang meneduhiku, aku terpaku memandang jauh ketengah laut. Aku diam menikmati suara angin yang berdesis ditelingaku. Aku membaringkan tubuhku diujung perahu menghadap kelaut. Tak terasa aku telah tertidur terbuai akan keindahan alam. Aku membawa bayangan iyen kedalam mimpiku hingga kealam bawah sadarku.


dedi padiku | foto | video | blog mengejar mimpi | blog facebook | profil facebook | facegor.

2 komentar :

  1. Mas Dedi, saya sangat menyukai semua tulisan anda, dalam artikel diatas kebetulan tercantum nama kecil saya [iwan-panggilan saya]. Seandainya saja diijinkan saya mau semua tulisan Mas Dedi akan saya print, tidak ada maksud lain selain hanya untuk koleksi pribadi saya, terima kasih.

  1. Dedi Padiku mengatakan... :

    mas gathan saya sangat senang jika ada yang mau membaca tulisan ini, kalau anda ingin mengeprinnya silahkan saja, lihat ada fasilitas print setiap postingan, atau copy saja keword. makasih ya atas waktunya.

Posting Komentar

 
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon More
powered by Blogger Dedi Padiku